A. Latar Belakang
Ilmu
Ushul Fiqh merupakan salah satu instrument penting yang harus dipenuhi
oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum islam.
Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan
ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlak untuk menjaga agar proses ijtihad
dan istinbat tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun
demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul
Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbat
para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti
penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada
sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para
Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah
(sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-mukhtalaf fiha, atau
“dalil-dalil yang dipersilihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan
hukum.
Mashadirul
Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang
tidak. Jelasnya, Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul-Nya dan nada Mushadir thabi’iyah (sumber yang ditautkan
kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma’
dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad
sendiri yaitu: istihsan, istishab, maslahah mursalah dan lainnya.
B. Pengertian Istihsan
Istihsan,
secara etimologis mengandung arti “menganggap sesuatu itu baik”. Secara
terminologis, istihsan adalah berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan qiyas
jaliy kepada qiyas khafiy berlandaskan dasar pikiran tertentu yang
rasional atau berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan hukum kulliy kepada
tuntutan hukum juz’iy berlandaskan dasar pemikiran tertentu yang
rasional.
Para
ulama Maliki merupakan golongan ulama yang sering mengaplikasikan dalil istihsan
sebagai dalil hukum. Ada sejumlah definisi istihsan yang dikemukan
oleh mereka, sebagaimana berikut :
1. Ibnu
al-Arabi, istihsan adalah meninggalkan kehendak dalil dengan cara
pengecualian atau memberikan rukhsah karena berbeda hukumnya dalam
beberapa hal. Ibnu al-Arabi menambahkan, istihsan adalah beramal dengan
salah satu dari dua dalil yang paling kuat, berpegang kepada dalil umum apabila
dalil itu bisa terus berlaku dan berpegang kepada qiyas apabila qiyas
itu berlaku umum.
2. Ibnu
Rusyd, istihsan berarti
meninggalkan qiyas dalam menetapkan suatu hukum karena qiyas
menimbulkan ketentuan hukum yang terkesan berlebihan/tidak wajar. Ibnu Rusyd
berpandangan, pada beberapa kasus penetapan hukum tidak dilakukan dengan qiyas,
tetapi dialihkan darinya karena ada pengertian yang mempengaruhi dalam
penetapan hukum yang mengkhususkan kasus tersebut.[1]
Dari
definisi yang dikemukan di atas, terlihat bahwa ibnu al-Arabi memberikan
pengertian yang lebih luas terhadap istihsan, berpegang kepada dalil apa
pun yang bertentangan dengan keumuman nash dan qiyas. Sesuai dengan
pengertian itu,
1.
Istihsan dengan nash
Nash
dalam hal ini bisa berupa al-Qur’an maupun as-Sunnah. Maknanya adalah
meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu masalah menuju hukum lain yang
berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’an atau as-Sunnah. Misal istihsan dengan
al-Qur’an adalah hukum istihsan dalam wasiat. Qiyas tidak membolehkan wasiat
karena wasiat adalah memindahkan kepemilikan dari seseorang (pemberi wasiat)
pada orang lain (penerima wasiat) yang digantungkan pada berakhirnya masa
kepemilikan pemberi wasiat tadi, yaitu setelah kematian. Akan tetapi, kaidah
ini dikecualikan (istihsan) oleh ayat al-Qur’an QS an-Nisa: 11 sebagai berikut.
من بعد وصية يوصي بها أودين
Contoh
lain dari al-Qur’an adalah apabila ada seseorang berkata: “Aku bersumpah
untuk mensedekahkan hartaku.”atau “hartaku adalah sedekah” maka
secara qiyas ia harus menyedekahkan semua miliknya yang dianggap sebagai harta,
akan tetapi secara istihsan ia hanya diharuskan mengeluarkan harta zakatnya
saja sesuai dengan firman-Nya:
خذ
من أ موالهم صدقة تطهرهم
Sedangkan
contoh istihsan dengan as-Sunnah adalah hukum jual-beli as-salam. Yaitu
menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad,
dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model
jual-beli yang umum ditetapkan oleh Syariat, yaitu yang mempersyaratkan adanya
barang pada saat akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan
penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Riwayat
yang menjelaskan hal itu adalah:
عن
ابن عباس رضي الله عنها قال : قدم رسول الله صلي الله عليه وسلم الودينة والناس
يسلفون في الثمر العام والعالوين او قال عامين أو ثلاثة, فقال (من سلف في تمر
وليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم)
Barang
siapa yang melakukan (jual-beli) kurma dengan cara as-salaf, maka hendaklah
melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu
yang jelas pula.”
2.
Istihsan dengan ijma’
Yakni
adanya kesepakatan dari para ulama untuk memutuskan hukum atas suatu masalah
yang menyelisihi hukum asal (ijma’ sharih), atau mendiamkan suatu
praktek yang berlaku di masyarakat tanpa mengingkarinya (ijma’ sukuti).
Misalnya kesepakatan ulama tentang bolehnya akad ishtishna’. Secara
qiyas, akad seperti ini adalah batal karena obyek akad tidak ada saat
terjadinya akad. Akan tetapi, akad seperti ini menjadi boleh karena sudah
berlaku di masyarakat tanpa adanya pengingkaran dari para ulama. Hal ini
menjadi ijma’ ulama, dengan meninggalkan qiyas karena kebutuhan masyarakat atas
hal ini dan untuk menghilangkan kesulitan. Contoh yang lain adalah akad yang terjadi
dalam penggunaan air di kamar mandi umum dengan membayar sejumlah uang yang
sudah ditentukan. Secara qiyas, akad seperti ini tidak dibolehkan karena adanya
ketidakpastian (jahalah) kadar penggunaan air dan waktu pemakaian.
Setiap orang harus membayar dengan biaya yang sama, padahal banyaknya air yang
digunakan dan waktunya antara satu dengan yang lain berbeda-beda. Akan tetapi,
akad ini menjadi boleh karena sudah berlaku dari masa ke masa tanpa adanya
pengingkaran dari ulama[2].
Artinya
adanya kondisi darurat yang menjadikan seorang mujtahid meninggalkan qiyas
untuk mewujudkan kemaslahatan atau untuk menghilangkan kemadharatan. Misalnya
adalah mensucikan sumur atau kolam yang terkena najis. Dengan metode qiyas,
sumur atau kolam itu tidak akan menjadi suci dengan membuang sebagian atau
seluruh airnya. Membuang sebagian air, tidak akan membuat suci sebagian air
yang lain, sedangkan membuang seluruh air tidak akan menjadikan suci pada air
baru yang bersumber dari sumur karena najis sudah menempel di dasar sumur atau
di dinding-dingding sumur. Dan hal tersebut akan terus menjadikan air sumur
dalam keadaan najis. Dengan adanya kesulitan ini, maka para ulama berpindah
dari Inilah yang dinamakan istihsan dengan ijma’, adanya kesepakatan
para ulama tentang kebolehannya tanpa adanya pengingkaran.
3.
Istihsan dengan ‘urf
Artinya
meninggalkan apa yang menjadi kensekuensi qiyas menuju hukum lain yang berbeda
karena ‘urf yang umum berlaku. Misalnya adalah kebolehan mewakafkan benda-benda
bergerak seperti buku. Hukum asal wakaf hanya berlaku pada benda-benda tetap
dan tidak bergerak seperti pekarangan. Akan tetapi, mewakafkan benda bergerak
seperti itu menjadi boleh karena adanya kebiasaan di masyarakat yang
membolehkannya.
4.
Istihsan dengan kedaruratan
Artinya
adanya kondisi darurat yang menjadikan seorang mujtahid meninggalkan qiyas
untuk mewujudkan kemaslahatan atau untuk menghilangkan kemadharatan. Misalnya
adalah mensucikan sumur atau kolam yang terkena najis. Dengan metode qiyas,
sumur atau kolam itu tidak akan menjadi suci dengan membuang sebagian atau
seluruh airnya. Membuang sebagian air, tidak akan membuat suci sebagian air
yang lain, sedangkan membuang seluruh air tidak akan menjadikan suci pada air
baru yang bersumber dari sumur karena najis sudah menempel di dasar sumur atau
di dinding-dingding sumur. Dan hal tersebut akan terus menjadikan air sumur
dalam keadaan najis. Dengan adanya kesulitan ini, maka para ulama berpindah
dari penggunaan qiyas pada istihsan sehingga menghukumi sucinya sumur
atau kolam tersebut dengan membuang air yang ada di dalamnya. penggunaan qiyas
pada istihsan sehingga menghukumi sucinya sumur atau kolam tersebut
dengan membuang air yang ada di dalamnya[3].
5.
Istihsan dengan qiyas khafi
Istihsan
dengan qiyas khafi terjadi apabila ada dua macam qiyas dalam masalah
yang dihadapi, yaitu qiyas khafi yang kuat pengaruhnya dengan qiyas jali
yang lemah pengaruhnya, kemudian mujtahid memilih untuk berpindah dari
qiyas jali ke qiyas khafi. Contoh lain, selain yang sudah disampaikan
di depan tentang sisa minuman binatang karnivora, adalah tentang wakaf tanah
pertanian. Ada dua qiyas yang bias berlaku dalam akad wakaf tanah pertanian.
Qiyas pertama, qiyas jali, yaitu menqiyaskan wakaf dengan jual beli yang
menjadikan barang yang diwakafkan tidak lagi menjadi hal pemiliknya. Dalam hal
ini, hak untuk minum, hak mengalirkan air, dan hak membuat jalan tidak termasuk
yang diwakafkan kecuali diikrarkan oleh Wakif (orang yang mewakafkan).
Qiyas kedua, qiyas khafi, yaitu menqiyaskan wakaf dengan sewa menyewa
dalam arti kebolehan untuk memanfaatkan ‘ain, bukan memilikinya,
sehingga dibolehkan juga memanfaatkan harta wakaf seperti meminum air dari
sumber air yang ada, menjadikannya sebagai sarana mengalirkan air dan
sebagainya tanpa harus ada ikrar dari si wakif.
.
Ketika mujtahid lebih mendahulukan qiyas yang kedua atas qiyas pertama dengan
dasar bahwa maksud dari wakaf adalah memanfaatkan barang wakaf dan bukan
memilikinya, maka berarti sang mujtahid sudah berpindah dari qiyas jali ke
qiyas khafi. Dan inilah yang dimaksud dengan istihsan dengan qiyas khafi[4].
6.
Istihsan dengan mashlahat
Istihsan
yang didasarkan pada kemaslahatan misalnya adalah tentang tanggung jawab buruh
atas kerusakan produk yang dibuatnya. Kaidah umum menyatakan bahwa buruh di
suatu pabrik tidak bertanggung jawab atas kerusakan hasil komoditi yang
diproduk pabrik tersebut kecuali atas kelalaian dan kesengajaan mereka, karena
mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah. Akan tetapi, demi kemaslahatan
dalam memelihara harta orang lain dari sikap tidak bertanggung jawab para buruh
dan sulitnya mempercayai sebagian buruh pabrik dalam masalah keamanan produk,
maka ulama Hanafiah menggunakan istihsan dengan menyatakan bahwa para buruh
harus bertanggung jawab atas kerusakan setiap produk pabrik itu, baik disengaja
maupun tidak. Contoh yang lain adalah tentang kebolehan dokter melihat aurat
wanita dalam berobat. Menurut kaidah umum (qiyas), seseorang dilarang melihat
aurat orang lain. Tetapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka
bajunya untuk di diagnosa penyakitnya, maka untuk kemaslahatan diri orang itu,
menurut kaidah istihsan seorang dokter boleh melihat aurat wanita yang
berobat kepadanya[5].
C. Kedudukan Istihsan
Para
ulama Malikiyah dan Hanafiyah berpandangan bahwa istihsan dapat menjadi dalil syara’ (hujjah
syar’iyyah). Untuk mendukung pandangan ini, mereka menggunakan argumen-argumen
Al Quran, Hadis, dan ijma’ seperti diuraikan berikut ini :
1.
Surah Al Zumar
(39) : 18
الذين
يستمعون القول فيتبعون أحسنه أولئك الذين هدىهم الله وأولئك هم أولوا الألبب
“Mereka
yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”
Menurut
para ulama Malikiyah dan Hanafiyyah, ayat ini memuji orang-orang yang mengikuti
pendapat yang paling baik.
2.
Hadis
مَا
المُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهَ حَسَنٌ
“Apa
yang dipandang baik oleh kaum muslim maka hal itu juga baik di sisi Allah”
(H.R. Ahmad)
3.
Ijma’
Adapun
ijma’ yang mereka jadikan argument ialah ijma’ tentang kebolehan akad pemakaian
kamar mandi umum tanpa ada kejelasan kadar air yang digunakan dan lamanya masa
pemakaian[6].
Imam
Al-Syafi’I memahami istihsan sebagai pendapat yang tidak bersandarkan
kepada al-akhbar berupa salah
satu dari 4 (empat) dalil syara’, yakni Al Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas.
Apabila seorang mujtahid memfatwakan suatu hukum dan hukum itu tidak diambil
dari al-Akhbar tersebut, baik secara bi al-Nas maupun bi
al-istinbat maka fatwa itu dinamakan istihsan. Menurut beliau, haram
hukumnya bagi seseorang berpendapat dengan berdasarkan istihsan apabila istihsan
ini bertentangan dengan al-Akhbar.
Imam
al-Syafi’I jelas menghubungkan (mengasosiasikan) istihsan dengan semua
fatwa yang tidak disandarkan kepada al-Akhbar, baik secara bi al-Nas maupun
bi al-istinbat. Tegasnya, bagi al-Syafi’i, istihsan merupakan
pendapat yang tidak bersandarkan Al-Quran dan Hadis atau Ijma’ atau atsar, ataupun
qiyas. Untuk mendukung pola pikirnya ini, Imam al-Syafi’i mengemukakan argumen-argumen
dibawah ini :
1.Surah al-Ahzab (33) : 44
واتبع
ما يوحى إليك من ربك
“Dan
ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu dari Tuhamu”
2.Surah al-Maidah (5) : 49
وأن
احكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka”[7]
D. Pengertian Maslahah Mursalah
Kata
“maslahahí” berakar pada s-l-h, ia merupakan bentuk masdar dari
kata kerja salaha yang secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus,
baik, patut, layak, sesuai. Dari sudut pandang ilmu sharaf (morfologi),
kata “maslahah” satu wazn (pola) dan makna dengan kata manfa’ah.
Kedua kata ini (maslahah dan manfa’ah) telah di-indonesiasikan
menjadi “maslahah” dan “manfaat”.
Dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa maslahat artinya sesuatu yang
mendatangkan kebaikan, faedah, guna. Sedangkan kata “maslahatan” berarti
kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan. Sementara kata “manfaat”, dalam kamus
tersebut diartikan dengan guna, faedah. Kata “manfaat” juga diartikan sebagai kebalikan/lawan
kata “mudarat” yang berarti rugi atau buruk.
Dalam
bahasa Arab, kata maslahah, selain merupakan bentuk masdar juga
merupakan isim, yang bentuk jamak (plural)-nya adalah masalih.
Dalam kamus Lisan al-Arab disebutkan bahwa al-maslahah, al-salah
wa al-maslahah wahidat al-maslih (al-maslahah, al-salah dan maslahah, berarti
kebaikan, dan ia merupakan bentuk tunggal dari kata masalih). Makna al-salah
(kebaikan) merupakan kebalikan dari kata dari kata al-fasad (kerusakan).
Jadi, kata maslahah adalah bentuk tunggal dari kata masalih dan
makna istislah ialah mencari maslahat, memandang maslahat/baik,
mendapatkan maslahat/kebaikan ia merupakan kebalikan dari kata al-istifsad yang
berarti memandang buruk/rusak, mendapatkan keburukan/kerusakan. Dalam kamus al-Misbah
al-Munir dinyatakan bahwa kata saluha lawan dari kata fasada, dan
bentuk masdar-nya ialah salah dan maslahah yang berarti khair
wa sawab (baik dan benar) dan bentuk jamaknya ialah masalih.
Secara
terminologis, al-maslahah adalah kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah untuk
hamba-hambanya, baik berupa pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa/diri
mereka, pemeliharaan kehormatan diri serta keturunan mereka, pemeliharaan akal
budi mereka, maupun berupa pemeliharaan harta kekayaan mereka.
Dengan
mengacu kepada arti terminologi, para ulama ahli ushul fiqh kemudian membuat
kategorisasi al-maslahah. Dari segi tingkatan (peringkat)-nya, al-maslahah
dikategorisasi oleh mereka menjadi 3 (tiga) macam: al-maslahah daruriyat,
al-hajiyat dan al-tahsiniyyat. Yang dimaksud al-daruriyat
adalah al-maslahah yang dikandung oleh segala perbuatan dan tindakan
yang tidak boleh tidak, demi tegaknya kehidupan manusia didunia; sekiranya ia
tidak ada maka akan rusaklah dan hancurlah kehidupan manusia secara keseluruhan,
terutama kelima jenis al-maslahah di atas (memelihara agama, jiwa, akal budi,
kehormatan diri/keturunan, dan harta kekayaan). Yang dimaksud al-hajiyyat
adalah al-maslahah yang dikandung oleh segala perbuatan dan tindakan
demi mendatangkan kelancaran, kemudahan, dan kesuksesan bagi kehidupan manusia
secara utuh-menyeluruh. Sedangkan al-tahsiniyyat adalah al-maslahah
yang dikandung oleh segala perbuatan dan tindakan demi mendatangkan keindahan,
kesantunan, kemuliaan bagi kehidupan manusia secara utuh-menyeluruh.
Dari
segi pengakuan al-syari’ atasnya, al-maslahah di kategorisasi oleh ulama ushul
fiqh menjadi 3 (tiga) macam pula, yaitu al-maslahah al-mu’tabarah,
al-maslahah al-mulghah, al-maslahah al-mursalah.
1.
al-Maslahah al-Mu’tabarah, yakni
al-maslahah yang diakui secara eksplisit oleh syara’ dan ditunjukkan oleh dalil
(nas) yang spesifik. Disepakati para ulama bahwa jenis al-maslahah ini
merupakan hujjah syar’iyyah yang valid dan otentik. Manifestasi organik dari
jenis al-maslahah ini adalah aplikasi qiyas. Sebagai contoh, di dalam QS.
Al-baqarah (2) : 222 terdapat norma bahwa istri yang sedang nifas? Bolehkah
disetubuhi suami nya? Dalam masalah ini dapat diaplikasikan qiyas, yakni qiyas
kasus istri yang sedang nifas kepada kasus istri yang sedang menstruasi (haid)
tersebut; konsekuensinya, si istri itu haram disetubuhi oleh suaminya karena faktor adanya bahwa penyakit yang
ditimbulkan. Dengan disebut secara eksplisit oleh nash syara’ maka al-maslahah
yang dikehendaki oleh aplikasi qiyas tersebut merupakan al-maslahah
al-mu’tabarah[8].
2.
al-Maslahah al-Mulgah, yakni
al-maslahah yang tidak diakui oleh syara’, bahkan ditolak dan dianggap batil
oleh syara’. Sebagai contoh, opini hukum yang menyatakan porsi hak kewarisan
laki-laki harus sama besar dan setara dengan porsi hak kewarisan perempuan,
dengan mengacu kepada dasar pikiran semangat kesetaraan gender. Dasar pikiran
demikian memang bermuatan al-maslahah, tetapi dinamakan al-maslahah al-mulgah.
3.
al-Maslahah al-Mursalah, yakni
al-maslahah yang tidak diakui secara eksplisit oleh syara’ dan tidak pula
ditolak dan dianggap batil oleh syara’, tetapi masih sejalan secara substantif
dengan kaidah-kaidah hukum yang universal. Sebagai contoh, kebijakan hukum
perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Kebijakan demikian tidak diakui
secara eksplisit oleh syara’. Akan tetapi, kebijakan demikian justru sejalan
secara substantif dengan kaidah hukum yang universal, yakni tassaruf al-iman
‘ala al-ra’iyyah manut-un bi al-maslahah. dengan demikian, kebijakan
tersebut mempunyai landasan syar’iyyah, yakni maslahah mursalah[9].
E. Kedudukan Maslahah Mursalah
Kalangan
ulama’ Malikiyyah dan Hanafiyyah berpendapat bahwa maslahah mursalah merupakan
hujjah syar’iyyah dan dalil hukum Islam. Ada beberapa argumen yang
dikemukakan oleh mereka antaranya :
1.
Hadis Mu’adz bin
Jabal. Dalam hadis itu, Rasulullah S.A.W membenarkan dan memberi restu kepada
Mu’adz untuk melakukan ijtihad apabila apabila masalah yang perlu diputuskan
hukumnya tidak terdapat dalam Al Quran dan sunnah dengan wajh al-istidlal bahwa
dalam berijtihad banyak metode yang bisa dipergunakan. Diantaranya, dengan
metode qiyas, apabila kasus yang dihadapi ada percontohan yang hukumnya telah
ditegaskan oleh nash syara’ lantaran ada illah yang mempertemukan. Dalam
kasus tidak ada percontohannya yang hukumnya sudah ditegaskan oleh Al Quran dan
sunnah, tentu ijtihad tidak dapat dilakukan melalui qiyas. Dalam kondisi
demikian, metode istislah merupakan pilihan yang paling tepat. Dengan
demikian, restu Rasulullah kepada mu’adz untuk melakukan ijtihad juga sebagai
restu bagi kebolehan mujtahid mempergunakan metode istislah dalam berijtihad.
2.
Di zaman sahabat
banyak muncul masalah baru yang belum pernah terjadi pada zaman Rasulullah.
Untuk mengatasi hal ini, sahabat banyak melakukan ijtihad berdasarkan maslahah
mursalah. Cara dan tindakan
semacam ini sudah menjadi consensus para sahabat. Contoh kasus ijtihad sahabat
yang dilakukan berdasarkan maslahah
mursalah cukup banayak.
Diantaranya :
- Kodifikasi Al-Quran oleh Khalifah Abu Bakar.
- Tindakan Khalifah Umar tidak memberi bagian
zakat kepada muallaf.
- Tindakan beliau membentuk kantor pemerintahan,
rumah tahanan, dan lain-lain
Kalangan ulama al-Syafi’iyyah dan ulama Hanabilah
berpandangan bahwa maslahah
mursalah tidak bisa dijadikan hujjah syar’iyyah dan dalil hukum Islam. Ada beberapa argumennya :
1. Maslahah ada yang dibenarkan oleh syara’/ hukum Islam, ada
yang ditolak dan ada yang diperselisihkan atau tidak ditolak dan tidak pula
dibenarkan. Maslahah mursalah termasuk kategori maslahah yang diperselisihkan.
Penyikapan maslahah mursalah sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum
islam terhadap sesuatu yang meragukan dan mengambil satu diantara dua
kemungkinan (kebolehjadian) tanpa disertai dalil yang mendukung.
2. Sikap menjadikan maslahah mursalah sebagai hujjah
menodai kesucian hukum islam dengan memperturutkan hawa nafsu dengan dalih
maslahah. dengan cara ini akan banyak penetapan hukum islam yang didasarkan
atas kepentingan hawa nafsu. Sebab, dunia terus bertambah maju dan seiring
dengan itu akan muncul hal-hal baru yang oleh nafsu dipandang maslahah, padahal
menurut syara’ membawa mafsadah. Tegasnya, penetapan hukum islam berdasarkan
maslahah adalah penetapan hukum islam berdasarkan hawa nafsu. Hal ini jelas
tidak dapat dibenarkan[10].
- Kesimpulan
Istihsan,
secara etimologis mengandung arti “menganggap sesuatu itu baik”. Secara
terminologis, istihsan adalah berpalingnya sang mujtahid dari tuntutan hukum
kulliy kepada tuntutan hukum juz’iy berlandaskan dasar pemikiran
tertentu yang rasional. Sedangkan al-maslahah secara terminologis, adalah
kemanfaatan yang dikehendaki oleh Allah untuk hamba-hambanya, baik berupa
pemeliharaan agama mereka, pemeliharaan jiwa/diri mereka, pemeliharaan
kehormatan diri serta keturunan mereka, pemeliharaan akal budi mereka, maupun
berupa pemeliharaan harta kekayaan mereka. Menurut pandangan Para ulama
Malikiyah dan Hanafiyah istihsan dapat menjadi dalil syara’ (hujjah
syar’iyyah). Untuk mendukung pandangan ini, mereka menggunakan
argumen-argumen Al Quran pada Surah Al Zumar (39) : 18. Sedangkan Imam
Al-Syafi’I memahami istihsan sebagai pendapat yang tidak bersandarkan
kepada al-akhbar berupa salah
satu dari 4 (empat) dalil syara’, yakni Al Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas.
Apabila seorang mujtahid memfatwakan suatu hukum dan hukum itu tidak diambil
dari al-Akhbar tersebut, baik secara bi al-Nas maupun bi
al-istinbat maka fatwa itu dinamakan istihsan. Menurut beliau, haram
hukumnya bagi seseorang berpendapat dengan berdasarkan istihsan apabila istihsan
ini bertentangan dengan al-Akhbar. Maslahah mursalah tidak bisa
dijadikan sebagai hujjah syar’iyyah karena kita bermadzhabkan
syafi’iyyah, dan Kalangan ulama
al-Syafi’iyyah berpandangan bahwa maslahah
mursalah tidak bisa dijadikan hujjah syar’iyyah dan dalil hukum Islam. Karena menurut
argumen syafi’iyyah, Maslahah mursalah termasuk kategori maslahah yang
diperselisihkan. Penyikapan maslahah mursalah sebagai hujjah berarti
mendasarkan penetapan hukum islam terhadap sesuatu yang meragukan dan mengambil
satu diantara dua kemungkinan tanpa disertai dalil yang mendukung. Kemudian
sikap menjadikan maslahah mursalah sebagai hujjah, menodai kesucian hukum
islam dengan memperturutkan hawa nafsu dengan dalih maslahah.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmawi.
Perbandingan Ushul Fiqih, AMZAH. Jakarta. 2011
Pdf. Nashiruddin,
Moh, “Istihsan dan Formulasinya (Pro Kontra Istihsan dalam pandangan Mazhab Hanafi dan Syafi’i), Jurnal
Asy-Syir’ah vol. 43. No. 01, 2009
[2] Pdf, Muh.
Nashirudin, “Istihsan dan Formulasinya (Pro Kontra Istihsan dalam Pandangan
Mazhab Hanafi dan Syafi’i)” , Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 43. No. 01, 2009, 165
[3]
Ibid. 165
[4] Ibid. 165
[6] DR. Asmawi, M.Ag, Perbandingan Ushul
Fiqih, AMZAH Jl. Sawo No. 18 Jakarta 1320, 2011, 116
[7]
Ibid. 116
[8]
Ibid. 117
[9]
Ibid. 118
[10]
Ibid. 118